Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), waktu menuju kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di Indonesia semakin dekat. Kenaikan ini terjadwalkan untuk mulai pada awal 2025. Namun, berbagai pihak, termasuk para pengusaha dan anggota parlemen, menilai bahwa kebijakan ini dapat membebani daya beli masyarakat.
Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), mengungkapkan bahwa data makro ekonomi menunjukkan bahwa lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mendapat dukungan oleh konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, penurunan daya beli yang terjadi akibat oleh kebijakan fiskal yang kurang mendukung bisa menjadi kontraproduktif terhadap perekonomian.
Baca – Artikel Terkait
Pertimbangan Pemerintah Indonesia dalam Kebijakan Fiskal
Ajib juga menekankan perlunya pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan kenaikan tarif PPN dengan cermat. Selain itu, ia menyarankan agar ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan sektor usaha, untuk memastikan ekonomi tetap tumbuh dengan baik.
Ajib menyarankan beberapa solusi bagi pemerintah, termasuk menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah fokus mengalokasikan beban pajak dengan mempertimbangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi penggerak ekonomi, seperti properti dan sektor-sektor yang mendukung hilirisasi pertanian, perikanan, dan peternakan.
Ecky Awal Mucharam, Anggota Komisi XI DPR RI, menilai bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 berpotensi kontraproduktif dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini. Kekhawatiran ini berdasarkan pada dampak kenaikan tarif PPN sebelumnya menjadi 11%, yang menurutnya telah menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.
Dampak Terhadap Inflasi dan Konsumen Indonesia
Ecky juga mengingatkan bahwa penyesuaian tarif PPN bisa mendorong inflasi yang tinggi, yang pada akhirnya akan berdampak pada konsumen. Terutama mereka yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa keputusan final mengenai kenaikan tarif PPN ini akan diumumkan oleh Presiden Joko Widodo. Yaitu saat membacakan nota keuangan dan RUU APBN 2025.
Sumber : CNBC Indonesia
Peningkatan Beban Biaya di Sektor Properti
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal tahun 2025 berpotensi meningkatkan beban biaya di sektor properti. Peningkatan ini dapat memicu kenaikan harga properti, yang pada gilirannya akan membebani pembeli, terutama di segmen menengah ke bawah. Hal ini juga dapat memperlambat penjualan properti, mengingat daya beli masyarakat yang perkiraannya akan menurun akibat inflasi yang lebih tinggi.
Pengaruh terhadap Investasi dan Pengembangan Properti
Kenaikan PPN bisa mengurangi minat investor di sektor properti, khususnya dalam pengembangan proyek baru. Biaya pembangunan yang meningkat dapat membuat pengembang menunda atau membatalkan rencana ekspansi. Yaitu terutama untuk proyek-proyek yang sudah terencana di wilayah-wilayah baru. Selain itu, sektor properti yang menjadi salah satu lokomotif ekonomi bisa mengalami stagnasi, berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.